Minggu, 13 November 2011

Bagaimanakah Cara Mengenal Allah (Ma'rifatullah) ?

Bagaimanakah Cara Mengenal Allah (Ma'rifatullah) ?
20 .
Al Imam ar-Rifa'i berkata: "Batas akhir pengetahuan seorang hamba
tentang Allah adalah meyakini bahwa Allah ta'ala ada tanpa bagaimana
 (sifat-sifat makhluk) dan ada tanpa tempat". (Disebutkan oleh al
Imam ar-Rifa'i dalam kitabnya Hal Ahl al Haqiqah ma'a Allah).
Karena seandainya Allah bertempat niscaya banyak sekali yang
menyerupainya.
Maka barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-
Nya tidaklah diterima ibadahnya sebagaimana perkataan al Imam al
Ghazali: "Tidaklah sah ibadah seseorang kecuali setelah ia mengetahui
Allah yang ia sembah". Al Imam Abu al Muzhaffar al Asfarayini (W.
471 H) dalam kitabnya at-Tabshir fi ad-Din, h. 98 mengutip perkataan
al Imam Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah meridlainya- bahwa dia
berkata tentang Allah :
Maknanya: "Sesungguhnya yang menciptakan tempat tidak boleh
dikatakan bagi-Nya di mana dan sesungguhnya yang menciptakan al
kayf (sifat-sifat benda) tidak dikatakan bagi-Nya bagaimana".
Al Imam Abu Manshur Al Baghdadi (W. 429 H) dalam kitabnya
al Farq Bayna al Firaq h. 256, berkata: "Sesungguhnya Ahlussunnah telah
sepakat bahwa Allah tidak diliputi tempat dan tidak dilalui oleh waktu".
Al Imam Syekh Abd Allah Ba 'Alawi al Haddad (W. 1132 H)
dalam bagian akhir kitabnya an-Nasha-ih ad-Diniyyah menuturkan:
"Aqidah ringkas yang bermanfaat -Insya Allah ta'ala- menurut jalan golongan
yang selamat. Mereka adalah golongan Ahlussunnah Wal Jama'ah, golongan
mayoritas umat Islam. Kemudian beliau -semoga Allah meridlainya–
berkata:
21 .
Maknanya: "Sesungguhnya Ia (Allah) ta'ala Maha suci dari zaman,
tempat dan maha suci dari menyerupai akwan (sifat berkumpul, berpisah,
bergerak dan diam) dan tidak diliputi oleh satu arah penjuru maupun
semua arah penjuru".
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Dzu an-Nun al
Mishri (W. 245 H) salah seorang murid terkemuka al Imam Malik
menuturkan kaidah yang sangat bermanfaat dalam ilmu Tauhid:
Maknanya: "Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang
Allah), maka Allah tidak seperti itu".
Perkataan ini dikutip dari Imam Ahmad ibn Hanbal oleh Abu al
Fadll at-Tamimi dalam kitabnya I'tiqad al Imam al Mubajjal Ahmad ibn
Hanbal dan diriwayatkan dari Dzu an-Nun al Mishri oleh al Hafizh al
Khathib al Baghdadi dalam Tarikh Baghdad. Dan ini adalah kaidah
yang merupakan Ijma' (konsensus) para ulama. Karena tidaklah dapat
dibayangkan kecuali yang bergambar. Dan Allah adalah pencipta
segala gambar dan bentuk, maka Ia tidak ada yang menyerupai-Nya.
Sebagaimana kita tidak bisa membayangkan suatu masa –
sedangkan masa adalah makhluk- yang di dalamnya tidak ada cahaya
dan kegelapan. Akan tetapi kita beriman dan membenarkan bahwa
cahaya dan kegelapan, keduanya memiliki permulaan. Keduanya tidak
ada kemudian menjadi ada. Allah-lah yang menciptakan keduanya.
Allah berfirman dalam al Qur'an:
Maknanya: "… dan yang telah menjadikan kegelapan dan cahaya"
(Q.S. al An'am: 1)
Jika demikian halnya yang terjadi pada makhluk, maka lebih
utama kita beriman dan percaya bahwa Allah ada tanpa tempat dan
arah serta tidak bisa kita bayangkan.
22
Imam kita Abu Bakr ash-Shiddiq -semoga Allah meridlainyaberkata
yang maknanya: "Pengakuan bahwa pemahaman seseorang
tidak mampu untuk sampai mengetahui hakekat Allah adalah
keimanan, sedangkan mencari tahu tentang hakekat Allah, yakni
membayangkan-Nya adalah kekufuran dan syirik".
Maksudnya adalah kita beriman bahwa Allah ada tidak seperti
makhluk-Nya, tanpa memikirkan tentang Dzat (Hakekat)-Nya.
Adapun berpikir tentang makhluk Allah adalah hal yang dianjurkan
karena segala sesuatu merupakan tanda akan ada-Nya. Perkataan
Sayyidina Abu Bakr -semoga Allah meridlainya- tersebut diriwayatkan
oleh seorang ahli Fiqih dan hadits al Imam Badr ad-Din az-Zarkasyi
as-Syafi'i (W. 794 H) dan lainnya.

Aqidah Imam Abul Hasan al Asy'ari

Aqidah Imam Abul Hasan al Asy'ari
18 .
Al Imam Abu al Hasan al Asy'ari (W. 324 H) –semoga Allah
meridlainya- berkata: "Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat" (diriwayatkan
oleh al Bayhaqi dalam al Asma wa ash-Shifat).1 Beliau juga mengatakan:
1 Ini adalah salah satu bukti yang menunjukkan bahwa kitab al Ibanah yang dicetak
dan tersebar sekarang dan dinisbatkan kepada al Imam Abu al Hasan al Asy'ari telah banyak
dimasuki sisipan-sisipan palsu dan penuh kebohongan, maka hendaklah dijauhi kitab tersebut.
"Tidak boleh dikatakan bahwa Allah ta'ala di satu tempat atau di
semua tempat". Perkataan al Imam al Asy'ari ini dinukil oleh al Imam
Ibnu Furak (W. 406 H) dalam karyanya al Mujarrad.
Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat
19 .
Al Imam Ahmad ar-Rifa'i (W. 578 H) dalam al Burhan al Muayyad
berkata: "Jagalah aqidah kamu sekalian dari berpegang kepada zhahir
ayat al Qur'an dan hadits Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam
yang mutasyabihat sebab hal ini merupakan salah satu pangkal kekufuran".
Mutasyabihat artinya nash-nash al Qur'an dan hadits Nabi
Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam yang dalam bahasa arab
mempunyai lebih dari satu arti dan tidak boleh diambil secara
zhahirnya, karena hal tersebut mengantarkan kepada tasybih
(menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), akan tetapi wajib
dikembalikan maknanya sebagaimana perintah Allah dalam al Qur'an
pada ayat-ayat yang Muhkamat, yakni ayat-ayat yang mempunyai satu
makna dalam bahasa Arab, yaitu makna bahwa Allah tidak
menyerupai segala sesuatu dari makhluk-Nya.
Ayat Istiwa'
Di antara ayat-ayat Mutasyabihat yang tidak boleh diambil secara
zhahirnya adalah firman Allah ta'ala (surat Thaha: 5):
Ayat ini tidak boleh ditafsirkan bawa Allah duduk (jalasa) atau
bersemayam atau berada di atas 'Arsy dengan jarak atau bersentuhan
dengannya. Juga tidak boleh dikatakan bahwa Allah duduk tidak
seperti duduk kita atau bersemayam tidak seperti bersemayamnya kita,
karena duduk dan bersemayam termasuk sifat khusus benda
sebagaimana yang dikatakan oleh al Hafizh al Bayhaqi (W. 458 H), al
Imam al Mujtahid Taqiyyuddin as-Subki (W. 756 H) dan al Hafizh
Ibnu Hajar (W. 852 H) dan lainnya. Kemudian kata istawa sendiri
dalam bahasa Arab memiliki 15 makna. Karena itu kata istawa tersebut
harus ditafsirkan dengan makna yang layak bagi Allah dan selaras
dengan ayat-ayat Muhkamat.
Berdasarkan ini, maka tidak boleh menerjemahkan kata istawa ke
dalam bahasa Indonesia dan bahasa lainnya karena kata istawa
mempunyai 15 makna dan tidak mempunyai padan kata (sinonim)
yang mewakili 15 makna tersebut. Yang diperbolehkan adalah
menerjemahkan maknanya, makna kata istawa dalam ayat tersebut
adalah qahara (menundukkan atau menguasai).2
.
Al Imam Ali –semoga Allah meridlainya- mengatakan:
"Sesungguhnya Allah menciptakan 'Arsy untuk menampakkan
kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya".
Maka ayat tersebut di atas (surat Thaha: 5) boleh ditafsirkan
dengan qahara (menundukkan dan menguasai) yakni Allah menguasai
'Arsy sebagaimana Dia menguasai semua makhluk-Nya. Karena al
Qahr adalah merupakan sifat pujian bagi Allah. Dan Allah menamakan
dzat-Nya al Qahir dan al Qahhar dan kaum muslimin menamakan
anak-anak mereka 'Abdul Qahir dan 'Abdul Qahhar. Tidak seorangpun
dari umat Islam yang menamakan anaknya 'Abd al jalis (al jalis adalah
nama bagi yang duduk). Karena duduk adalah sifat yang sama-sama
dimiliki oleh manusia, jin, hewan dan malaikat. Penafsiran di atas tidak
berarti bahwa Allah sebelum itu tidak menguasai 'arsy kemudian
menguasainya, karena al Qahr adalah sifat Allah yang azali (tidak
mempunyai permulaan) sedangkan 'arsy adalah merupakan makhluk
yang baru (yang mempunyai permulaan). Dalam ayat ini, Allah
menyebut 'arsy secara khusus karena ia adalah makhluk Allah yang
paling besar bentuknya.

Dzat Allah Tidak Bisa Dibayangkan

Dzat Allah Tidak Bisa Dibayangkan
14 .
Al Imam asy-Syafi'i -semoga Allah meridlainya– berkata: "Barang
siapa yang berusaha untuk mengetahui pengatur-Nya (Allah) hingga meyakini
bahwa yang ia bayangkan dalam benaknya adalah Allah, maka dia adalah
musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), kafir.
Dan jika dia berhenti pada keyakinan bahwa tidak ada tuhan (yang
mengaturnya) maka dia adalah mu'aththil -atheis- (orang yang meniadakan
Allah). Dan jika berhenti pada keyakinan bahwa pasti ada pencipta yang
menciptakannya dan tidak menyerupainya serta mengakui bahwa dia tidak
akan bisa membayangkan-Nya maka dialah muwahhid (orang yang
mentauhidkan Allah); muslim". (Diriwayatkan oleh al Bayhaqi dan
lainnya)
15 .
Al Imam Ahmad ibn Hanbal dan al Imam Tsauban ibn Ibrahim
Dzu an-Nun al Mishri, salah seorang murid terkemuka al Imam Malik
-semoga Allah meridlai keduanya- berkata: "Apapun yang terlintas dalam
benakmu (tentang Allah) maka Allah tidak menyerupai itu (sesuatu yang
terlintas dalam benak)" (Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi dan
al Khathib al Baghdadi)
Hukum Orang yang meyakini Tajsim; bahwa Allah adalah
Benda
Syekh Ibn Hajar al Haytami (W. 974 H) dalam al Minhaj al
Qawim h. 64, mengatakan: "Ketahuilah bahwasanya al Qarafi dan lainnya
meriwayatkan perkataan asy-Syafi'i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah -
semoga Allah meridlai mereka- mengenai pengkafiran mereka terhadap orangorang
yang mengatakan bahwa Allah di suatu arah dan dia adalah benda,
mereka pantas dengan predikat tersebut (kekufuran)".
Al Imam Ahmad ibn Hanbal –semoga Allah meridlainyamengatakan:
"Barang siapa yang mengatakan Allah adalah benda, tidak
seperti benda-benda maka ia telah kafir" (dinukil oleh Badr ad-Din az-
Zarkasyi (W. 794 H), seorang ahli hadits dan fiqh bermadzhab Syafi'i
dalam kitab Tasynif al Masami' dari pengarang kitab al Khishal dari
kalangan pengikut madzhab Hanbali dari al Imam Ahmad ibn
Hanbal). Al Imam Abu al Hasan al Asy'ari dalam karyanya an-Nawadir
mengatakan : "Barang siapa yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda
maka ia telah kafir, tidak mengetahui Tuhannya".

Ahlussunnah dan Para Sufi Menentang Paham Hulul dan Wahdatul Wujud


Ahlussunnah dan Para Sufi Menentang Paham Hulul dan
Wahdatul Wujud
23 .
Ahlussunnah Wal Jama'ah mengatakan: "Sesungguhnya Allah
tidaklah bertempat pada sesuatu, tidak terpecah dari-Nya sesuatu dan
tidak menyatu dengan-Nya sesuatu, Allah tidak serupa dengan
sesuatupun dari makhluk-Nya".4
Syekh Abd al Ghani an-Nabulsi -semoga Allah merahmatinyadalam
kitabnya al Faidl ar-Rabbani berkata: "Barangsiapa yang mengatakan
bahwa Allah terpisah dari-Nya sesuatu, Allah menempati sesuatu, maka dia
telah kafir".
24 .
Al Imam al Junayd al Baghdadi (W. 297 H) penghulu kaum sufi
pada masanya berkata: "Seandainya aku adalah seorang penguasa niscaya
aku penggal setiap orang yang mengatakan tidak ada yang maujud (ada)
kecuali Allah". (dinukil oleh Syekh Abd al Wahhab asy-Sya'rani dalam
kitabnya al Yawaqit Wal Jawahir).
25 .
Al Imam Ar-Rifa'i -semoga Allah meridlainya- berkata: "Ada dua
perkataan (yang diucapkan dengan lisan meskipun tidak diyakini dalam
hati) yang bisa merusak agama: perkataan bahwa Allah menyatu dengan
makhluk-Nya (Wahdat al Wujud) dan berlebih-lebihan dalam
4 Inilah kebenaran yang tidak mungkin dibantah dan ditolak. Namun terdapat
sebagian kelompok yang menyalahi pernyataan ulama Ahlussunnah ini, di antaranya yang
dikenal dengan nama Wahidiyyah. Mereka membagi-bagikan selebaran yang memuat perkataan
mereka: ﺓﺪﺣﻮﻟﺍ ﺮ ﺎﻨﻗﺮﻐﺗ ﻥﺃ yang maknanya : Ya Allah kami memohon kepada-Mu untuk
menenggelamkan kami ke tengah lautan (menyatu dengan- Mu). Redaksi-redaksi semacam ini (bahkan
dalam bahasa Indonesia) juga banyak terdapat dalam majalah mereka. Jelas ini adalah sebuah
kekufuran yang sharih dan menyalahi keyakinan para sufi hakiki.
mengagungkan para Nabi dan para wali, yakni melampaui batas yang
disyariatkan Allah dalam mengagungkan mereka".
26 .
Beliau juga mengatakan: "Jauhilah perkataan Wahdat al Wujud
yang banyak diucapkan oleh orang-orang yang mengaku sufi dan jauhilah
sikap berlebih-lebihan dalam agama karena sesungguhnya melakukan
dosa itu lebih ringan dari pada terjatuh dalam kekufuran
"Sesungguhnya Allah tidaklah mengampuni orang yang mati dalam
keadaan syirik atau kufur sedangkan orang yang mati dalam keadaan
muslim tetapi ia melakukan dosa-dosa di bawah kekufuran maka ia
tergantung kepada kehendak Allah, jika Allah menghendaki Ia akan
menyiksa orang yang Ia kehendaki dan jika Allah berkehendak, Ia akan
mengampuni orang yang Ia kehendaki".
Dua perkataan al Imam Ahmad ar-Rifa'i tersebut dinukil oleh al
Imam ar-Rafi'i asy-Syafi'i dalam kitabnya Sawad al 'Aynayn fi Manaqib
Abi al 'Alamain.
27
Salah seorang khalifah Syekh Ahmad ar-Rifa'i (dalam Thariqah
ar-Rifa'iyyah) pada abad XIII H, Syekh al 'Alim Abu al Huda ash-
Shayyadi -semoga Allah merahmatinya- dalam kitabnya at-Thariqah ar-
Rifa'iyyah berkata: "Sesungguhnya mengatakan Wahdah al Wujud (Allah
menyatu dengan makhluk-Nya) dan Hulul (Allah menempati makhluk-Nya)
menyebabkan kekufuran dan sikap berlebih-lebihan dalam agama menyebabkan
fitnah dan akan menggelincirkan seseorang ke neraka, karenanya wajib
dijauhi".5
28 .
5 Di antara para pendusta yang mengaku sebagai ahli tasawwuf adalah orang yang
bernama Abdullah ad-Daghistani. Ia bukanlah sunni sebagaimana dinyatakan oleh Syekh
Muhammad Zahid an-Naqsyabandi. Abdullah ad-Daghistani keluar dari Daghistan dan
mengaku sebagai seorang sunni, pengikut Thariqah an-Naqsyabandiyyah padahal sanadnya
terputus, tidak bersambung. Mufti Daghistan terdahulu Sayyid Ahmad ibn Sulaiman Darwisy
Hajiyu memperingatkan umat Islam akan bahaya dan kesesatan Abdullah ad-Dagistani ini.
Abdullah ad-Daghistani punya beberapa pengikut, di antaranya Nazhim al-Qubrushshi.
Nazhim kemudian mempunyai murid, di antaranya Hisyam Qabbani yang menyebut dirinya
al-Haqqani, juga saudaranya 'Adnan Qabbani. Mereka ini termasuk orang yang paling bodoh
tentang agama, dan karenanya para ulama Ahlussunnah memperingatkan masyarakat akan
bahaya dan kesesatan mereka. Bahkan Mufti Tripoli Lebanon menulis komentarnya di
majalah al Afkar agar masyarakat mewaspadai dan tidak tertipu oleh mereka, karena mereka
ini mengaku mengetahui ilmu ghaib dan menganggap bahwa hamba ini adalah bagian dari
Dzat Allah, mereka mengatakan bahwa orang kafir jika membaca al Fatihah maka akan
memperoleh keutamaan dan anugerah dari Allah yang belum pernah diperoleh oleh para nabi,
dan barangsiapa yang membaca ayat ﻝﻮﺳﺮﻟﺍ ﻦﻣﺍﺀ ... sekali saja ia akan memperoleh anugerah yang
belum pernah diperoleh olah para nabi dan para wali, serta masih banyak kekufurankekufuran
mereka yang lain. Alhamdulillah para ulama Indonesia, khususnya para pengikut
Thariqah Naqsyabandiyah telah menyadari kesesatan mereka ini dan memperingatkan
masyarakat akan bahaya dan kesesatan mereka. Kesesatan-kesesatan ini bisa dilihat dalam
buku-buku mereka seperti Muhithat ar-Rahmah, al Washiyyah dan lain-lain.
Syekh al 'Alim Abu al Huda ash-Shayyadi –semoga Allah
merahmatinya- juga mengatakan dalam kitabnya al Kawkab ad-Durriy:
"Barangsiapa mengatakan saya adalah Allah dan tidak ada yang mawjud
(ada) kecuali Allah atau dia adalah keseluruhan alam ini, jika ia dalam
keadaan berakal (sadar) maka dia dihukumi murtad (kafir)".
29 .
Al Imam Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi mengatakan: "Tidak akan
meyakini Wahdah al Wujud kecuali para mulhid (atheis) dan barangsiapa
yang meyakini Hulul maka agamanya rusak (Ma'lul)".
Sedangkan perkataan-perkataan yang terdapat dalam kitab
Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi yang mengandung aqidah Hulul dan
Wahdah al Wujud itu adalah sisipan dan dusta yang dinisbatkan
kepadanya. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdul Wahhab asy-
Sya'rani dalam kitabnya Lathaif al Minan Wa al Akhlaq menukil dari
para ulama. Demikian juga dijelaskan oleh ulama-ulama lain.6